Monday, February 20, 2012

PENEMUAN NENEK MISTERI


Nenek Mengambang Diatas Permukaan Laut. Banyuwangi - Warga Dusun Grajagan Pantai Desa Grajagan Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi, dikejutkan dengan penemuan sesosok nenek misterius di tengah laut. Nenek misterius tersebut ditemukan duduk dengan posisi mengambang di atas permukaan air laut.


Nenek yang belakangan diketahui bernama Supiah (65), asal Dusun Selorejo Desa Temurejo Kecamatan Bangorejo, Banyuwangi itu ditemukan secara tak sengaja oleh serombongan nelayan yang sedang memancing di laut Grajagan, tepatnya Laut Pelawangan

.

Kali pertama ditemukan, nenek misterius itu berada di permukaan air laut dalam posisi duduk, Kamis malam (7/5/2009), sekitar pukul 23.00 WIB atau bertepatan pada malam Jumat Legi.

Anehnya lagi, tubuh maupun pakaian yang dikenakan nenek tersebut tak basah oleh air laut. Saat ditolong oleh para nelayan, nenek tersebut justru menolak untuk dinaikkan ke atas kapal jukung.

Bahkan saat berhasil dirayu naik ke atas kapal, nenek itu justru memaksa para nelayan untuk mengantarnya ke arah laut lepas seakan mengejar sesuatu.

"Saya kira batang kayu, saya baru tahu pas nenek itu batuk-batuk membentur perahu saya. Teman-teman saya ketakutan, pas saya lihat ternyata nenek itu duduk di atas permukaan air terombang-ambing arus laut," jelas Supariyanto (40), nelayan Grajagan yang malam itu melihat langsung kesaktian nenek Supiah. Dia sangat heran, sebab nenek tersebut seperti pada film-film fiksi selama ini.

Nenek Supiah yang sempat diamankan ke rumah Supariyanto itu kemudian disusul oleh keluarganya, Jumat (8/5/2009). Selain itu polisi juga ikut mengawalnya, sebab penemuan nenek sakti itu mengundang warga berduyun-duyun. Saat ditanya wartawan, nenek Supiah hanya diam. "Saya cari anak saya," katanya singkat.

TARI GANDRUNG BANYUWANGI

  Tari Gandrung Banyuwangi.
Asal istilah

Kata ""Gandrung"" diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat
.

PERTUNJUKAN GANDRUNG BANYUWANGI

Tarian Gandrung Banyuwangi dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen. Kesenian ini masih satu genre dengan seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di wilayah Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan).[rujukan?]Gandrung merupakan seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan musik khas perpaduan budaya Jawa dan Bali.[rujukan?] Tarian dilakukan dalam bentuk berpasangan antara perempuan (penari gandrung) dan laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan "paju"

Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.

Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).

SEJARAH

Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.

Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.

Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrungditujukan untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.

Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.
Tata Busana Penari

Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (Kerajaaan Blambangan) yang tampak.
Bagian Tubuh

Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.

BAGIAN KEPALA

Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima] yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang sekarang ini.

Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.

BAGIAN BAWAH

Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.

LAIN-LAIN

Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya. Namun kini penari gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya, khususnya dalam bagian seblang subuh.

MUSIK PENGIRING

Musik pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri dari satu buah kempul atau gong, satu buah kluncing (triangle), satu atau dua buah biola, dua buah kendhang, dan sepasang kethuk. Di samping itu, pertunjukan tidak lengkap jika tidak diiringi panjak atau kadang-kadang disebut pengudang (pemberi semangat) yang bertugas memberi semangat dan memberi efek kocak dalam setiap pertunjukan gandrung. Peran panjak dapat diambil oleh pemain kluncing.

Selain itu kadang-kadang diselingi dengan saron Bali, angklung, atau rebana sebagai bentuk kreasi dan diiringi electone

RUJAK SOTO KHAS BANYUWANGI

Sebagian besar dari kita tentulah mengenal rujak, demikian juga dengan soto. Namun rujak soto, makanan perpaduan antara rujak dan soto ini hanya dapat kita temui di Banyuwangi.


Karena sajian beraroma nikmat ini, merupakan sajian khas Banyuwangi. Salah satu kedai rujak soto yang cukup terkenal adalah kedai rujak soto milik Mak Usmiah yang terletak di desa Banjarsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.

Warung rujak soto yang berada di lintasan menuju kawasan wisata Kawah Ijen ini tidak pernah sepi dari pengunjung. Mak Usmiah yang telah belasan tahun berjualan rujak soto nampak akrab dengan para pelanggannya. Diman sebagian besar dari mereka, telah lama menjadi pelanggan rujak soto Mak Usmiah.

Rujak soto Mak Usmiah, merupakan salah satu kekhasan lokal khususnya Banyuwangi yang terus berusaha bertahan ditengah serbuan berbagai makanan instan yang kian hari kian digemari masyarakat Indonesia.

PANTAI GRAJAGAN

PANTAI GRAJAGAN
PANTAI GRAJAGAN
Pantai Grajagan terletak kurang lebih 52 km ke arah selatan dari Kota Banyuwangi, Jawa Timur. Di sekitar Pantai Grajagan banyak terdapat gua peninggalan penjajah jepang yang terletak pada ketinggian, sehingga saat Anda berada di gua tersebut, Anda dapat mengawasi seluruh kawasan Pantai Grajagan.

Pantai ini sangat ideal sebagai tempat transit atau sebagai pintu gerbang untuk menuju ke pantai Plengkung. Di samping lokasinya tidak terlalu jauh untuk menuju ke (Taman Nasional) TN Alas Purwo, Grajagan juga sangat indah dan jauh dari kebisingan kota.



Tempat ini dapat menjadi pilihan bagi wisatawan yang ingin melancong ke TN Alas Purwo dengan menggunakan perahu. Kawasan seluas 314 hektar ini berada di hutan KPH Banyuwangi Selatan, tepatnya di petak 111 BKPH Curahjati.

Pantai Grajagan juga dikenal dengan “G-Land.” Pantai ini juga berada pada kawasan Wilayah Ratu Pantai Selatan. Biasanya untuk pergi ke tempat ini akan lebih dekat jika Anda melewati kota Benculuk dan Purwoharjo (jika dari arah barat). Sebelum melewati tempat ini, Anda akan melewati pedesaan dan bukit Pohon Jati terlebih dahulu. Sehingga dapat terlihat pemandangan yang benar-benar asri.

Tidak hanya penduduk lokal saja yang datang ke tempat ini, tetapi juga penduduk mancanegara. Mereka datang ke sini biasanya untuk berjemur dan surfing di Pantai Grajagan yang memiliki tipe ombak totally epic. Di dekat pantai ini dilengkapi dengan Mushola, Hotel, dan tempat peristirahatan yang indahdan dapat disewa dengan biaya yang murah.

Di pantai ini, Anda bisa menyaksikan langsung aktivitas nelayan di pagi hari saat berangkat mencari ikan dan menurunkan ikan hasil tangkapannya saat sore menjelang. Anda juga dapat menikmati suasana pantai dengan deburan ombak yang lepas dari atas shelter. Selain itu, Anda juga bisa memilih berbagai kaos surfing, celana surfing dan asesoris surfing yang dijual di sepanjang pinggiran pantai.


Untuk informasi rute lengkapnya silahkan baca Pesona Wisata Banyuwangi.